KKP Tingkatkan Pemanfaatan Moluska Untuk Genjot Ekonomi Marikultur

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan mendorong pemanfaatan berbagai komoditas moluska untuk genjot nilai ekonomi marikultur nasional. Potensi lahan marikultur sangat luas yakni sekitar 12,3 juta hektar, namun tingkat pemanfaatannya baru 2,25 %. Oleh karena itu, berbagai komoditas unggulan moluska seperti budidaya kekerangan di tanah air akan terus di dorong dan ditingkatkan dalam rangka memanfaatkan potensi ekonomi marikultur Indonesia. Hal tersebut ditegaskan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto.

“Kekerangan merupakan salah satu komoditas unggulan marikultur bernilai ekonomis dan berdaya saing tinggi serta produksinya sebagai komoditas marikultur terbesar kedua setelah rumput laut. Ini berpotensi jadi komoditas andalan untuk dikembangkan, mengingat potensi pasar baik dalam dan luar negeri yang cukup tinggi. Disamping, teknologi budidaya yang sudah kita kuasai dengan baik”, jelas Slamet.

Khusus untuk budidaya kerang mutiara, Slamet menuturkan bahwa saat ini pengembangannya masih terus didorong di sentra sentra produksi seperti di NTB, Maluku dan Papua. Menurutnya nilai ekonomi produk mutiara yang dihasilkan sangat tinggi dan menjadi salah satu unggulan ekspor Indonesia.

“Indonesia dikenal sebagai salah satu produsen jenis mutiara “South Sea Pearl” dengan nilai ekonomi bisa jutaan dollar US. Saya kira ini terus jadi konsen kita semua, terutama kita terus dorong upaya upaya domestikasi induk kerang mutiara dan pemeliharaan calon induk agar ke depan bisa kita genjot kapasitasnya dan tidak terus bergantung pada alam”, tegas Slamet.

Untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, Slamet juga mendorong untuk menerapkan skema segmentasi usaha dengan kemitraan dengan pihak korporasi.

“Masyarakat dapat melakukan budidaya mutiara dari benih hingga ukuran 7 cm kemudian diserahkan kepada perusahaan pembesaran kerang mutiara untuk menghasilkan mutiara berkualitas”, kata Slamet.

Sedangkan guna menjamin perlindungan dan kemudahan investasi, Pemerintah juga mendorong penataan zonasi di kawasan kawasan potensial.

“Pemerintah daerah sesuai kewenangannya kami himbau untuk segera menuntaskan perda terkait zonasi, disamping segera melakukan reformasi perizinan yang ramah investasi. Marikultur ini tergolong high capital, sehingga investasi adalah hal mutlak yang perlu di dorong. Tapi tentu perlu saya tegaskan, investasi yang tidak semata corporated based tapi harus berbasis family based, sehingga masyarakat sekitar juga bisa terangkat secara ekonomi”, imbuhnya.

Sebagai informasi negara tujuan ekspor kekerangan Indonesia yang terbesar adalah Malaysia dan Thailand kemudian selanjutnya diikuti USA, Asia Timur dan Kanada. Volume ekspor kekerangan Indonesia tahun 2019 sebesar 13,57 ribu ton dengan nilai US$ 17,3 juta. Proyeksi tren kenaikan produksi kekerangan sebesar 12% per tahun, yakni sekitar 87 ribu ton pada tahun 2020 menjadi 137 ribu ton pada tahun 2024.

Teknologi budidaya beberapa jenis kerang telah dikuasai dan berhasil dikembangkan seperti Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Lombok dan Balai Produksi Induk Udang Unggul dan Kekerangan (BPIU2K) Karangasem telah berhasil memproduksi benih bermutu kerang mutiara dan juga kerang abalone.

Untuk kerang hijau, Slamet menambahkan pihaknya akan terus melakukan pendataan dan identifikasi kawasan-kawasan budidaya kerang yang bebas dari potensi cemaran. Disamping, bagaimana agar food safetynya terjamin, misalnya dengan mengembangkan unit-unit depurasi di setiap sentral produksi. Menurutnya, ini penting agar produk kerang asal Indonesia diterima kembali oleh Eropa.

Yang tak kalah pentingnya, menurut Slamet, Indonesia juga punya potensi untuk pengembangan Tridacna atau kima. Menurutnya nilai ekonomi jenis ini juga sangat tinggi khususnya untuk tujuan ekspor. Saat ini konvensi internasional memasukan jenis ini sebagai Appendix II CITES artinya bisa diperdagangkan namun upaya pemanfaatan di alam harus melalui pengawasan ketat dan lestari.

“Jenis kima ini memang masih belum berhasil dibudidayakan, namun kita akan terus lakukan upaya domestikasi dan rekayasa perbenihan, sehingga nantinya eksploitasi di alam bisa kita minimalisir”, pungkas Slamet.

Adapun, beberapa strategi pengembangan budidaya kekerangan diantaranya ialah i) Penataan kawasan sentra produksi budidaya kekerangan berbasis WPP, ii) Peningkatan produksi, iii) Pengembangan usaha, investasi dan akses pasar, iv) Pengembangan infrastruktur dan konektivitas, v) Manajemen kesehatan ikan dan lingkungan, vi) peningkatan kompetensi SDM dan pengembangan IPTEK dan vii) Penguatan kelembagaan dan komitmen stakeholders.

Sementara itu, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyampaikan terkait Pendekatan Eko-Bioteknologi dalam mendukung bioprospeksi avertebrata laut berkelanjutan pada ajang Seminar Nasional Moluska IV bertajuk ” Moluska dalan Riset Konservasi dan Ekonomi” yang digelar secara virtual. Bioprospeksi ialah proses penemuan dan komersialisasi produk-produk baru yang berasal dari sumber daya hayati dalam bidang farmasi obat. Obat tersebut berasal dari metabolit sekunder yang terdapat pada masing-masing organisme seperti fauna laut salah satunya moluska. Senyawa tersebut sebagai pertahanan diri individu terhadap predator melalui produksi senyawa bioaktif yang menimbulkan efek seperti antikanker, antioksidan, antiobesitas, antidiabetes, antiinflamasi dan lain sebagainya.

“Permasalahan yang ekstrim apabila menggunakan langsung dari inangnya secara berkelanjutan, maka dapat mengganggu ekosistemnya. Seperti contoh senyawa bioaktif dari tunicate (Ecteinascidia turbinata) sebagai antikanker yang dihasilkan dari jaringan lunaknya sebanyak kurang lebih 1 ton untuk diesktrak menjadi 1 gr obat antikanker”, jelas Ocky.

“Pendekatan berbasis ekologi kimia laut dan bioteknologi laut merupakan alternatif pemanfaatan avertebrata laut secara berkelanjutan. Melalui tiga pendekatan diantaranya 1) budidaya terhadap moluska yang prospektif untuk menghasilkan senyawa bioaktif; 2) memanfaatkan potensi mikroba simbion yang menghasilkan senyawa bioaktif yang mirip dengan inangnya, sehingga tidak diambil ekstrak dari inangnya, karena akan mengganggu ekosistemnya; 3) pendekatan metagenomik khususnya mencari klaster gen yang berperan menghasilkan senyawa bioaktif laut”, papar Ocky.

Sumber: Ditjen Perikanan Budidaya

Leave a Reply