KPK Lakukan Monev Implementasi PermenKP Nomor 7 Tahun 2024 dan Penangkapan Ikan Terukur di NTB

Mataram, 21 Oktober 2024 – Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (Kadislutkan) Provinsi NTB, Bapak Muslim, ST.,M.Si bersama jajaran, menerima kunjungan tim dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap implementasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PermenKP) Nomor 7 Tahun 2024 tentang tata kelola kepiting lobster dan rajungan serta Penangkapan Ikan Terukur (PIT) di NTB. Kunjungan ini bertujuan untuk memetakan kendala-kendala yang dialami dalam implementasi peraturan tersebut.

Dalam kesempatan yang berharga tersebut, Kadislutkan NTB menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada KPK dan sekaligus dapat menyampaikan secara langsung beberapa permasalahan yang dihadapi daerah di sektor kelautan dan perikanan pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

Salah satu isu yang disoroti adalah terbatasnya ruang bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan nilai tambah dari pengelolaan sumber daya alam yang menjadi kewenangan pemerintah daerah khususnya di laut, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2022, dimana pemerintah daerah sudah tidak diperbolehkan menarik retribusi perizinan berusaha dan retribusi perizinan tertentu yang mana pada UU 28 Tahun 2009 sebelumnya diperbolehkan. Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, pengelolaan wilayah laut 0-12 mil merupakan kewenangan provinsi.

Demikian halnya Terkait implementasi PermenKP Nomor 7 Tahun 2024, Kadislutkan NTB menyoroti tidak adanya klausul pasal yang menjamin akses perlindungan terhadap pembudidaya lobster pada ketersediaan benih bening lobster yang berkualitas dengan harga terjangkau. Hal ini penting mengingat NTB adalah salah satu lokasi terbesar di Indonesia yang kegiatan usaha budidaya Lobster sudah berjalan secara tradisional bahkan puluhan tahun sebelum diundangkannya PermenKP Nomor 7 Tahun 2024.

Disampaikannya lebih lanjut, jumlah kuota yang diberikan kepada KUB tidak beririsan dengan jumlah pemesanan barang (PO) yang terbatas ke seluruh koperasi mitra dengan BLU KKP, dan kalaupun ada PO sebaiknya tidak diberlakukan 1 kali siklus pengiriman. Hal ini penting guna memastikan anggota KUB akan secara terus menerus melakukan aktivitas penangkapan sepanjang PO selalu tersedia. Apalagi terkait Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang tidak aktif namun telah menerima kuota. Hingga saat ini, belum ada mekanisme yang jelas untuk mengalihkan kuota tersebut kepada kelompok yang lebih aktif.

Bapak Muslim dalam kesempatan ini juga mengusulkan agar PermenKP Nomor 7 Tahun 2024 agar dilakukan penyesuaian atau revisi dengan mempertimbangkan kepentingan daerah Provinsi penghasil benih lobster. Salah satunya dengan membuka fungsi pelayanan satu atap di daerah yang dikelola sepenuhnya oleh BLU KKP, namun penyediaan fasiltas pelayanan dilakukan oleh Pemerintah Daerah sehingga semua fungsi pelayanan dari Koperasi Mitra BLU di NTB akan di lakukan pada lokasi terdekat dari akses bandara internasional di NTB. Dengan pola tersebut maka aspek penguatan dan pemberdayaan masyarakat yang terhimpun dalam koperasi, pemerintah daerah dan negara akan saling mendapatkan nilai tambah yang adil dan proporsional.

Selain itu, dalam diskusi terkait Penangkapan Ikan Terukur, Kadislutkan NTB menyoroti tentang adanya kecenderungan penurunan produksi tangkapan pasca di berlakukannya PIT. Di samping itu, lambannya proses pelayanan perizinan PAS kapal perikanan karena masih bergantungnya proses perizinan kapal perikanan dari sektor lain khususnya oleh KSOP Kementerian Perhubungan. Hal lain yang juga turut menjadi sorotan dalam pertemuan tersebut adalah terbatasnya SDM syahbandar perikanan yang saat ini jumlahnya hanya 1 orang untuk melayani 6 pelabuhan perikanan di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa sehingga hal ini juga turut berpengaruh terhadap fungsi pelayanan.

Melalui kunjungan ini, diharapkan KPK dapat merekomendasikan perbaikan tata kelola dan regulasi yang lebih proporsional dan berkeadilan, sehingga potensi tumpang tindih regulasi dapat diminimalisir dan manfaat bagi daerah dapat dimaksimalkan.