Jum’at, (17/06/2023) Kaepala Bidang Pengawasan dan Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P2SDP3K) Dinas Kelautan dan Perikanan (Dislutkan) Provinsi NTB Ibu Hikmah Aslinasari, ST.,MM mengikuti undangan rapat koordinasi teknis pengelolaan laut 0 – 12 Mil di Shangrila Hotel Surabaya yang diadakan oleh Dislutkan Provinsi Jawa Timur yang dihadiri oleh Dislutkan dari 23 Provinsi, OPD terkait lingkup Provinsi Jawa Timur, dan stakeholder terkait lainnya.
Dalam pertemuan tersebut, para peserta dari 23 Provinsi sepakat agar pengelolaan laut dan pesisir sepanjang 0-12 mil dilakukan secara tepat dan mengikuti aturan yang berlaku sesuai Undang-Undang.
Kadislutkan Provinsi Jatim Dr. H. M Isa Anshori mengungkapkan, kegiatan ini merupakan rapat koordinasi pertama yang membahas pengelolaan laut 0-12 mil dari berbagai provinsi di Indonesia.
“Kita berharap ada kelanjutannya untuk membahas masalah ini karena banyak provinsi mengalami masalah yang sama,” kata Isa Anshori yang juga menjadi moderator.
Rakor ini menghadirkan narasumber Prof. Daniel M. Rosyid dan Prof. Widi A. Pratikto dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Sedangkan dua narasumber lainnya Prof. Aan Eko Widiarto dan Dr. Abu Bakar Sambah dari Universitas Brawijaya (UB), Malang.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto dalam kesempatan tersebut mengungkapkan masih ada disharmoni dalam UU yang mengatur pengelolaan laut dan pesisir.
“Banyak aturan yang bertabrakan antara pemerintah pusat dengan provinsi. Ada disharmoni dalam beberapa pasal dalam UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UU,” jelasnya.
Padahal, lanjutnya, satu-satunya pemerintah daerah yang punya wewenang mengatur masalah kelautan adalah Provinsi. Namun ia melihat UU Cipta Kerja tidak menghapus atau mengubah UU Pemerintahan Daerah terkait kewenangan provinsi di laut.
“Provinsi masih memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan wewenang yang diatur dalam UU Cipta Kerja,” jelasnya.
UU Cipta Kerja adalah lex generalis, sedangkan UU Pemerintahan Daerah adalah lex specialis. “Jadi, semestinya UU Pemda mengesampingkan UU Cipta Kerja,”
Sementara, pakar kelautan ITS Prof. Daniel A Rosyid mengatakan, harus ada semacam lokalisasi aturan. “Aturan tunggal yang yang sentralistik pasti akan gagal,” katanya.
Ia melihat UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertendensi sentralistik. UU ini cenderung melakukan liberalisasi pengelolaan tata ruang laut.
Selanjutnya Mantan Dirjen Pesisir dan Pulau Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan, Prof. Widi A. Pratikto menyoroti penataan ruang pesisir dan laut. Menurutnya, perlu prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir yang terpadu.
Ia juga menyoroti sampah laut atau marine debrise yang kian hari menjadi ancaman. Dampaknya pada ekonomi, pariwisata, kerusakan habitat, kerusakan kapal dan navigasi, serta kehidupan lingkungan maritim secara keseluruhan.
Setelah paparan dari para narasumber, acara kemjdkan diakhiri dengan penandatanganan kesepakatan bersama para Kadislutkan/perwakilan 23 Provinsi agar berkomitmen megelolaan laut dan pesisir sesuai dengan aturan yang berlaku.